Peran IFRS dalam Hadapi Perubahan Iklim dan Dorong Investasi Hijau
BANDUNG, 4 Agustus 2025 — Dalam menghadapi tantangan perubahan iklim global, Pusat Perubahan Iklim Institut Teknologi Bandung (ITB) menyelenggarakan seminar bertajuk “Peran International Financial Reporting Standards (IFRS) dalam Perencanaan Pembangunan Nasional Berwawasan Lingkungan” pada 30 Juli 2025 di Auditorium IPTEKS CC Timur, Kampus ITB. Acara ini menyoroti pentingnya integrasi isu perubahan iklim dalam strategi bisnis dan keuangan untuk meningkatkan transparansi serta menarik investasi hijau.
Seminar ini menghadirkan para pemangku kepentingan dari sektor pemerintah, industri, serta akademisi, termasuk perwakilan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Bappenas, dan PT PLN. Kegiatan ini juga diikuti lebih dari 100 peserta secara luring dan daring.
Perubahan Iklim: Tantangan dan Peluang Ekonomi
Perubahan iklim kini menjadi ancaman nyata dengan dampak signifikan terhadap perekonomian global. World Economic Forum memperkirakan kerugian akibat risiko fisik perubahan iklim bisa mencapai USD 1,7 hingga 3,1 triliun per tahun pada 2050. Di Indonesia sendiri, Bappenas mencatat potensi kerugian sebesar Rp 115,53 triliun pada 2024.
Meski demikian, peluang investasi dalam transisi energi hijau sangat besar. Laporan International Energy Agency (IEA) menyebutkan bahwa dari total investasi energi global senilai USD 3 triliun pada 2024, dua pertiganya atau sekitar USD 2 triliun diinvestasikan untuk energi bersih. Indonesia, dengan potensi energi terbarukan sebesar 363.021 MW, menyumbang 7,45% dari kebutuhan listrik nasional.
IFRS: Pilar Transparansi dan Investasi Berkelanjutan
Dalam menjawab tantangan tersebut, pengadopsian standar pelaporan internasional menjadi semakin penting. IFRS Foundation melalui International Sustainability Standards Board (ISSB) telah meluncurkan dua standar utama terkait pengungkapan keberlanjutan dan risiko iklim pada Juni 2023. Standar ini dirancang untuk meningkatkan kualitas informasi, memperkuat akuntabilitas, dan memudahkan investor dalam mengakses data yang relevan.
Indonesia secara proaktif telah mengadopsi standar tersebut melalui peluncuran SAK Internasional oleh DSAK-IAI dan peraturan OJK No. 26 Tahun 2023. Upaya ini menjadi fondasi penting dalam menyesuaikan praktik keuangan nasional dengan standar global, meskipun diperlukan peningkatan kualitas dan konsistensi dalam implementasinya.
Komitmen ITB dalam Jembatani Sains dan Keuangan
Seminar dibuka oleh Kepala Pusat Perubahan Iklim ITB, Prof. Djoko Santoso Abi Suroso, Ph.D., yang menyampaikan pentingnya menjembatani dunia sains iklim dengan sistem keuangan berkelanjutan melalui pelaporan berbasis risiko iklim.
“Kami ingin menyambungkan kemampuan di bidang climate change adaptation dengan dunia keuangan,” ungkap Prof. Djoko.
Beliau juga menyoroti kasus nyata seperti kilang Pertamina di Balikpapan yang terdampak oleh kekurangan air dan peningkatan suhu. Hal ini menunjukkan pentingnya indikator risiko yang lebih relevan dengan tantangan iklim saat ini, bukan sekadar indikator keuangan konvensional.
Deputi Direktur Pengembangan Pusat di DRI ITB, Dr. Grandprix Thomryes Marth Kadja, M.Si., turut menyampaikan dukungannya terhadap kegiatan ini. Menurutnya, lingkungan adalah isu multidisiplin dan multidimensi, sehingga kolaborasi antar pusat riset dan fakultas sangat krusial.
“Harapannya dengan seminar ini, kita dapat mengambil bagian dalam kontribusi terhadap ketahanan iklim,” tuturnya.
Kolaborasi Lintas Sektor: Kunci Ketahanan Iklim
Seminar ini menghadirkan narasumber dari berbagai lembaga strategis:
- OJK melalui Rezza F. Prisandy, Ph.D., menegaskan pentingnya pengungkapan transisi energi oleh entitas Sektor Jasa Keuangan (SJK).
- Bappenas yang diwakili Anggi Pertiwi Putri, M.Ev., menekankan pentingnya data transparan untuk mendukung perencanaan nasional dan menarik investasi hijau.
- KLHK melalui Franky Zamzani, M.Env., menggarisbawahi peran IFRS dalam mendukung komitmen Indonesia pada UNFCCC dan pengembangan Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI).
- PLN, diwakili Fanny Abdul Aziz, memaparkan manfaat implementasi IFRS S1 dan S2 dalam membuka akses pendanaan hijau dan mendorong continuous improvement.
Diskusi ini turut menghadirkan masukan dari berbagai penanggap lintas sektor, antara lain
- Akademisi dan praktisi seperti Diskusi ini turut menghadirkan masukan dari berbagai penanggap lintas sektor, antara lain Dr. Tri Wahyu Hadi (Pusat Perubahan Iklim ITB), Vidya Trisandini Azzizi, Ph.D. (Resilience Development Initiative), Ir. David Gina Kimars Ketaren, M.SP. (Praktisi), dan Prabandari I. Moerti (Ikatan Akuntan Indonesia). Diskusi berjalan dinamis, mencerminkan kesadaran bersama bahwa tantangan perubahan iklim membutuhkan pendekatan kolaboratif antar keilmuan dan kelembagaan.
Kesimpulan:
Kolaborasi lintas sektor, peningkatan kapasitas, dan adopsi standar internasional menjadi kunci memperkuat ketahanan ekonomi dan keuangan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim serta mendukung transisi menuju pembangunan berkelanjutan.